Pariwisata
Kamis, 30 Agustus 2012
Sabtu, 05 Mei 2012
KELAPARAN KETIKA TERJADI BENCANA DI KWIYAWAGE KABUPATEN NDUGA.PAPUA
Gmbr: Kamoung kwiyawage
kelaparan sepertinya menjadi momok yang tidak hentinya mengancam kelangsungan masyarakat pedalaman Papua. Setelah Yahukimo kini Kabupaten Puncak di ambang bahaya.
Masih hangat berita tentang kasus kegagalan panen, yang menyebabkan kelaparan di beberapa distrik di kabupaten Yahukimo kini kejadian serupa terulang lagi di distrik Agandugume, Kabupaten Puncak. Bedanya kalau di Yahukimo, kerusakan tanaman pangan disebabkan oleh hujan secara-terus menerus, maka di distrik Agandugume, Kabupaten Puncak kerusakan ubi dan tanaman pangan lainnya disebabkan oleh es yang menghujani distrik tersebut.
Menurut kepala Distrik Agandugume Otniel Murib, sudah hampir tiga bulan ini sebanyak 12.000 masyarakat di tiga kampung di wilayahnya mengalami kekurangan bahan makanan. Hal ini disebabkan akibat dari hujan es yang terus mengguyur, dari bulan Agustus 2009 hingga sekarang terutama pada malam hari. Ubi jalar yang merupakan bahan makanan pokok warga mengalami kerusakan. “Isinya berair. Tidak bisa dimakan,” katanya.
Sementara itu bantuan yang hendak disalurkan oleh pemerintah kabupaten terkendala oleh kondisi lapangan terbang Agandugume yang masih dalam tahap penyelesaian. Untuk sementara masyarakat hanya memanfaatkan sayuran paku (sejenis tanaman pakis), sebagai bahan makanan di samping sayuran lainnya. Sebenarnya di daerah ini dapat juga tumbuh tanaman kentang namun sayangnya masyarakat sudah tidak menanamnya lagi.
Dampak langsung yang dialami beberapa warga berupa kulit yang terkelupas akibat terkena es. Hal ini dialami oleh warga yang sedang berburu. Mereka sudah dievakuasi dan dirawat di RS Nabire. Masyarakat juga telah mengungsi ke tempat yang aman, yaitu antara Distrik Sinak dan Agandugume. Pilihan ini pun tidak urung dari bencana. Sebuah kejadian tragis juga sempat menimpa warga pengungsi. “Rumah tempat mengungsi terbakar akibat dari kelalaian warga,” kata staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Yulianus Kogoya. Selain itu menurut Kogoya akibat dari masyarakat yang memaksa untuk mengkonsumsi ubi yang rusak terancam penyakit cacingan.
Bupati Kabupaten Puncak Simon Alom S.Sos, dalam keterangan persnya mengungkapkan bahwa fenomena ini sebenarnya terjadi setiap tahunnya dan sejak jaman dahulu namun sekarang ini berlangsung cukup lama, sehingga merusak tanaman. “Hujan es ini terjadi setiap tahun, yaitu pada bulan Agustus dan September,” kata Alom. Pihaknya telah melakukan pemantauan bersama staff dan tim BPBD serta segera bertindak dengan melaporkan ke pemerintah provinsi dan pusat, agar keadaan ini tidak berlarut-larut sehingga tidak berakibat negatif, seperti jatuhnya korban jiwa. Alom juga mengungkapkan hujan es pada malam hari, juga membuat semua makanan kering. “Ketika menjelang pukul sepuluh pagi, semua jenis makanan menjadi kering, sehingga tidak layak dikonnsumsi,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Puncak sendiri hingga kini hanya bisa menyalurkan bantuan berupa bahan makanan ke distrik Sinak, yang dapat diambil oleh warga dengan berjalan kaki selama satu hari satu malam. “Hal ini terpaksa kami lakukan karena lapter di Agandugume belum bisa digunakan,” kata Alom.
Dari rentetan kejadian gagal panen ada baiknya menyimak pernyataan mantan Ketua Komisi B DPR Papua beberapa waktu lalu bahwa sebenarnya kasus-kasus serupa (gagal panen) hampir terjadi di semua daerah di wilayah Pegunungan Papua. “Namun hanya beberapa di antaranya, yang terekspos oleh media. “Di pedalaman hanya gereja yang mempunyai alat komunikasi, sementara pemerintah kampung sangat sulit melakukan komunikasi dengan pemerintah kabupaten, sehingga setiap informasi tentang kondisi warga tidak mempunyai akses. Pihak gereja sendiri lebih sering menyampaikan informasi langsung ke media. Satu hal yang mesti dilakukan pemerintah menurut Sumino adalah secepatnya melakukan relokasi penduduk dari kampung yang rawan bencana ke tempat yang lebih layak. (Pat/R3)
Masih hangat berita tentang kasus kegagalan panen, yang menyebabkan kelaparan di beberapa distrik di kabupaten Yahukimo kini kejadian serupa terulang lagi di distrik Agandugume, Kabupaten Puncak. Bedanya kalau di Yahukimo, kerusakan tanaman pangan disebabkan oleh hujan secara-terus menerus, maka di distrik Agandugume, Kabupaten Puncak kerusakan ubi dan tanaman pangan lainnya disebabkan oleh es yang menghujani distrik tersebut.
Menurut kepala Distrik Agandugume Otniel Murib, sudah hampir tiga bulan ini sebanyak 12.000 masyarakat di tiga kampung di wilayahnya mengalami kekurangan bahan makanan. Hal ini disebabkan akibat dari hujan es yang terus mengguyur, dari bulan Agustus 2009 hingga sekarang terutama pada malam hari. Ubi jalar yang merupakan bahan makanan pokok warga mengalami kerusakan. “Isinya berair. Tidak bisa dimakan,” katanya.
Sementara itu bantuan yang hendak disalurkan oleh pemerintah kabupaten terkendala oleh kondisi lapangan terbang Agandugume yang masih dalam tahap penyelesaian. Untuk sementara masyarakat hanya memanfaatkan sayuran paku (sejenis tanaman pakis), sebagai bahan makanan di samping sayuran lainnya. Sebenarnya di daerah ini dapat juga tumbuh tanaman kentang namun sayangnya masyarakat sudah tidak menanamnya lagi.
Dampak langsung yang dialami beberapa warga berupa kulit yang terkelupas akibat terkena es. Hal ini dialami oleh warga yang sedang berburu. Mereka sudah dievakuasi dan dirawat di RS Nabire. Masyarakat juga telah mengungsi ke tempat yang aman, yaitu antara Distrik Sinak dan Agandugume. Pilihan ini pun tidak urung dari bencana. Sebuah kejadian tragis juga sempat menimpa warga pengungsi. “Rumah tempat mengungsi terbakar akibat dari kelalaian warga,” kata staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Yulianus Kogoya. Selain itu menurut Kogoya akibat dari masyarakat yang memaksa untuk mengkonsumsi ubi yang rusak terancam penyakit cacingan.
Bupati Kabupaten Puncak Simon Alom S.Sos, dalam keterangan persnya mengungkapkan bahwa fenomena ini sebenarnya terjadi setiap tahunnya dan sejak jaman dahulu namun sekarang ini berlangsung cukup lama, sehingga merusak tanaman. “Hujan es ini terjadi setiap tahun, yaitu pada bulan Agustus dan September,” kata Alom. Pihaknya telah melakukan pemantauan bersama staff dan tim BPBD serta segera bertindak dengan melaporkan ke pemerintah provinsi dan pusat, agar keadaan ini tidak berlarut-larut sehingga tidak berakibat negatif, seperti jatuhnya korban jiwa. Alom juga mengungkapkan hujan es pada malam hari, juga membuat semua makanan kering. “Ketika menjelang pukul sepuluh pagi, semua jenis makanan menjadi kering, sehingga tidak layak dikonnsumsi,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Puncak sendiri hingga kini hanya bisa menyalurkan bantuan berupa bahan makanan ke distrik Sinak, yang dapat diambil oleh warga dengan berjalan kaki selama satu hari satu malam. “Hal ini terpaksa kami lakukan karena lapter di Agandugume belum bisa digunakan,” kata Alom.
Dari rentetan kejadian gagal panen ada baiknya menyimak pernyataan mantan Ketua Komisi B DPR Papua beberapa waktu lalu bahwa sebenarnya kasus-kasus serupa (gagal panen) hampir terjadi di semua daerah di wilayah Pegunungan Papua. “Namun hanya beberapa di antaranya, yang terekspos oleh media. “Di pedalaman hanya gereja yang mempunyai alat komunikasi, sementara pemerintah kampung sangat sulit melakukan komunikasi dengan pemerintah kabupaten, sehingga setiap informasi tentang kondisi warga tidak mempunyai akses. Pihak gereja sendiri lebih sering menyampaikan informasi langsung ke media. Satu hal yang mesti dilakukan pemerintah menurut Sumino adalah secepatnya melakukan relokasi penduduk dari kampung yang rawan bencana ke tempat yang lebih layak. (Pat/R3)
Gmbr: pada saat bencana.
<a href="http://kwiyawagenipson.wordpress.com"></a>Ancaman
Langganan:
Postingan (Atom)